sug_rwuh

Sabtu, 18 Desember 2010

Watu payung

Pada jaman dahulu kala ada seorang pertapa yang bernama Ki Jenggot. Dia dikenal sangat sakti di desa tersebut. Ketika bulan sura dia selalu bertapa di dalam sebuah batu besar yang ada di tengah hutan. Tetapi ketika bulan sura telah usai dia kembali ke rumahnya. Masyarakat begitu percaya dengan kesaktian Ki Jenggot. Hingga pada malam bulan sura berikutnya tiba, Ki Jenggot mendapat firasat buruk terhadap ketentraman desa tersebut. Semua ketentraman dan kedamaian di desa itu akan hilang. Hal ini dirasa karena semua tanaman sulit untuk tumbuh subur. Sehingga mau tidak mau Ki Jenggot harus menambah waktu bertapanya di tengah hutan untuk meminta petunjuk. Sebelum Ki Jenggot berangkat ke hutan ia memberi pesan kepada tetangganya yang bernama Wono untuk tidak mengganggunya ketika bertapa. Wono menyetujui permintaan Ki Jenggot tersebut.
Bulan Sura telah berakhir tetapi tanaman masih saja sulit untuk tumbuh, hujanpun belum juga turun. Masyarakat pasrah menerima kenyataan tersebut. Hingga suatu ketika, ada seorang yang melewati desa tersebut dan memberi saran kepada masyarakat untuk meminta petunjuk kepada pemberi hidup. Orang tersebut bernama Aji. Hingga masyarakat meminta petunjuk dan berdoa bersama agar diturunkannya hujan. Ketika hujan turun dengan derasnya, salah satu warga yang bernama Wono meminta ijin untuk menjemput Ki Jenggot. Wono merasa bahwa hujan ini juga berkat usaha keras Ki Jenggot. Hujanpun tidak mengurungkan niat Wono untuk menjemput tetangganya tersebut. Wono mengajak Ki Jenggot untuk menghentikan bertapanya karena hujan sudah turun dengan derasnya, masyarakat takut jika berakibat banjir. Tetapi Ki Jenggot tetap diam di dalam gua. Sementara Wono tetap memaksa Ki Jenggot untuk keluar dari gua. Wono terus berteriak dan berteriak agar Ki Jenggot mendengar. Selang beberapa menit, Ki jenggot keluar dengan wajah penuh emosi. Raut mukanya berwarna merah. Dengan lantangnya, Ki Jenggot berkata “Kau telah melupakan janjimu untuk tidak menggangguku bertapa”, “Kau ku kutuk menjadi batu”. Perlahan kaki Wono membatu hingga sampai ujung rambut, begitu pula payung yang ia pakai berubah menjadi batu.
Sampai saat ini, batu yang berbentuk seperti payung tersebut masih ada. Konon tempat tersebut tidak pernah di datangi oleh manusia. masyarakat takut jika apa yang ia lakukan secara tidak sengaja di depan gua tersebut akan dikutuk oleh Ki Jenggot.

Amanat : janganlah mengganggu pekerjaan orang lain (ngriwuki) karena akan berdampak pada kehidupan kita.

Sumber: Mbah Mistiyah

ASAL MULA SUNGAI PENGANTEN

Sungai penganten atau pengantin ialah sungai yang terletak di desa Sikemplong kecamatan Plantungan kabupaten Kendal. Sungai ini ialah gabungan dari dua sungai, yaitu sungai yang berasal dari desa Manggungmangu dan sungai yang berasal dari desa Saron. Masyarakat desa sikemplong mempercayai bahwa masing-masing sungai tersebut memiliki danyang atau penunggunya. Menurut cerita dari masyarakat, danyang tersebut menikah dan beranak pinak di sungai tersebut.
Masyarakat kemudian memiliki kepercayaan bahwa ketika seseorang yang belum menemukan jodoh mandi di sungai tersebut maka akan cepat menemukan jodoh. Ritual mandi kembang tersebut tentunya dipimpin oleh sesepuh desa ini yaitu Mbah Mistiyah. Upacara mandi kembang dilakukan ketika tanggal 1 malam sura, dengan syarat-syarat tertentu. Masyarakat jawa mempercayai bahwa air dapat membersihkan berbagai macam kotoran, termasuk kotoran yang ada dalam diri sehingga mandi kembang ini dilakukan untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menghalang-halangi temu jodo pada diri seseorang.


Sumber mbah mistiyah