Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan alternatif: Ketjak, Ketjack, dan Ketiak), adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun demikian, Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar[1], melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.
Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.
Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.
Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
sug_rwuh
Selasa, 27 September 2011
tari bedhaya amat disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).
Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).
Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Rabu, 10 Agustus 2011
jamuran
jamuran merupakan salah satu permainan tradisional yang ada di pulau jawa.
Sebelum permainan ini dimulai biasanya di awali dengan hompimpah untuk menentukan siapa menang siapa kalah. kalah atau menang, anak-anak tetap riang. anak-anak yang menang, bergandengan membentuk lingkaran sembari melantunkan syair jamuran sementara satu anak yang berdiri di tengah lingkaran yang menandakan bahwa anak itu yang kalah.
Jamuran… jamuran…ya ge ge thok
jamur apa ya ge ge thok
Jamur payung, ngrembuyung kaya lembayung
sira badhe jamur apa?
begitu kira-kira syairnya. tiba pada kalimat 'sira badhe jamur apa?', si anak yang berada di tengah lingkaran lantas berteriak menyebut sebuah gerakan pura-pura yang wajib kami perbuat. anak-anak lain yang semula bergandengan tangan membentuk lingkaran, kontan berhamburan. Untuk menirukan seperti apa yang di ucapkan si anank yang kalah tadi. Misal seperti ini.....
'jamur montor!'
ketika di ucapkan 'jamur montor! Anak-anak yang berhamburan untuk berubah menjadi berbagai kendaraan beroda. ada yang menjadi mobil polisi. ada yang menjadi dokar. ada yang menjadi sepeda motor. ada yang menjadi kereta. masing-masing kami bergumam menirukan suara tiap-tiapnya sembari berjalan mondar-mandir. hingga terdengar lagi sebuah suara.
'jamur patung!'
lantas anak-anak bergegas menjadi patung. diam tak bergerak. tidak boleh tersenyum. tidak boleh tertawa. meski digoda. meski diajak berbicara.
bagi anak yang tertawa, tersenyum, atau yang bergerak akan terkena hukuman yaitu ia harus menggantikan posisi anak yang kalah tadi.bila sudah ada yang terkena, kami lantas bermain lagi dari mula. bila sudah ada terhukum, kami yang terbebas bisa lega tersenyum.
yang kena hukuman, masuk ke dalam lingkaran. yang lainnya, bergandengan tangan melingkar dan mulai menembang. jamuran... jamuran... ya ge ge thok............ . . .
tiba pada kalimat 'sira badhe jamur apa?'(intinya permainan dimulai seperti awal tadi).
'jamur monyet!'
Anak-anak segera melepas tautan tangan. semua berhamburan. macam-macam gerakannya. ada yang dengan segera memanjat pohon. ada yang hanya menggaruk-garuk kepala. ada yang sesekali meloncat-loncat. ada yang seketika duduk dan berpura-pura seperti sedang mencari kutu pada kepala temannya.
anak-anakpun banyak yang tertawa terpingkal karenanya.
'jamur patung!'
maka seketika itu juga kami tidak boleh bergerak. seketika itu juga kami tidak boleh tertawa.
nyatanya ada yang tidak bisa, tetap terpingkal sehingga terkena hukuman. Jika yang terkena hukuman lebih dari satu maka ditentukan dengan pingsut atau hompipah.
sementara malam terus diremangi rembulan. tembang jamuran... jamuran... godhong gedang.. siram bayem jamur apa!... terus di nyanyikan.
Sebelum permainan ini dimulai biasanya di awali dengan hompimpah untuk menentukan siapa menang siapa kalah. kalah atau menang, anak-anak tetap riang. anak-anak yang menang, bergandengan membentuk lingkaran sembari melantunkan syair jamuran sementara satu anak yang berdiri di tengah lingkaran yang menandakan bahwa anak itu yang kalah.
Jamuran… jamuran…ya ge ge thok
jamur apa ya ge ge thok
Jamur payung, ngrembuyung kaya lembayung
sira badhe jamur apa?
begitu kira-kira syairnya. tiba pada kalimat 'sira badhe jamur apa?', si anak yang berada di tengah lingkaran lantas berteriak menyebut sebuah gerakan pura-pura yang wajib kami perbuat. anak-anak lain yang semula bergandengan tangan membentuk lingkaran, kontan berhamburan. Untuk menirukan seperti apa yang di ucapkan si anank yang kalah tadi. Misal seperti ini.....
'jamur montor!'
ketika di ucapkan 'jamur montor! Anak-anak yang berhamburan untuk berubah menjadi berbagai kendaraan beroda. ada yang menjadi mobil polisi. ada yang menjadi dokar. ada yang menjadi sepeda motor. ada yang menjadi kereta. masing-masing kami bergumam menirukan suara tiap-tiapnya sembari berjalan mondar-mandir. hingga terdengar lagi sebuah suara.
'jamur patung!'
lantas anak-anak bergegas menjadi patung. diam tak bergerak. tidak boleh tersenyum. tidak boleh tertawa. meski digoda. meski diajak berbicara.
bagi anak yang tertawa, tersenyum, atau yang bergerak akan terkena hukuman yaitu ia harus menggantikan posisi anak yang kalah tadi.bila sudah ada yang terkena, kami lantas bermain lagi dari mula. bila sudah ada terhukum, kami yang terbebas bisa lega tersenyum.
yang kena hukuman, masuk ke dalam lingkaran. yang lainnya, bergandengan tangan melingkar dan mulai menembang. jamuran... jamuran... ya ge ge thok............ . . .
tiba pada kalimat 'sira badhe jamur apa?'(intinya permainan dimulai seperti awal tadi).
'jamur monyet!'
Anak-anak segera melepas tautan tangan. semua berhamburan. macam-macam gerakannya. ada yang dengan segera memanjat pohon. ada yang hanya menggaruk-garuk kepala. ada yang sesekali meloncat-loncat. ada yang seketika duduk dan berpura-pura seperti sedang mencari kutu pada kepala temannya.
anak-anakpun banyak yang tertawa terpingkal karenanya.
'jamur patung!'
maka seketika itu juga kami tidak boleh bergerak. seketika itu juga kami tidak boleh tertawa.
nyatanya ada yang tidak bisa, tetap terpingkal sehingga terkena hukuman. Jika yang terkena hukuman lebih dari satu maka ditentukan dengan pingsut atau hompipah.
sementara malam terus diremangi rembulan. tembang jamuran... jamuran... godhong gedang.. siram bayem jamur apa!... terus di nyanyikan.
Langganan:
Postingan (Atom)